Senin, 10 Februari 2014

Pakistan Korban Kolonisasi Ideologi Takfiri Saudi, Indonesia ?


Gerakan Takfiri Internasional :
Pakistan Korban Kolonisasi Ideologi Takfiri Saudi, Indonesia ?

Islam Times-
Fenomena takfirisme makin hari makin memprihatinkan. Sudah banyak negara yang terinfeksi ideologi "gampang mengafirkan" yang bersumber dari ajaran Wahhabi yang menjadi agama resmi Kerajaan Arab Saudi itu. Ancamannya makin nyata, menyusul aksi terorisme kelompok yang mengusung takfirisme semacam ISIS, Jabhah Nusrah, dan lain-lain, di Suriah yang didukung penuh AS, Arab Saudi, Qatar, "Israel", dan puluhan negara Eropa. Bila di Indonesia gerakan takfiri itu masih sporadis dan belum terkonsolidasi, meski tetap membahayakan NKRI, lain hal dengan Pakistan yang sudah lama menjadi korban kolonisasi ideologi Arab Saudi tersebut.

Masih ingat aksi heroik seorang remaja Pakistan berusia 15 tahun beberapa pekan silam? Aitizaz Hasan, begitu nama lengkapnya, merelakan nyawanya melayang demi mencegat seorang maniak pengebom bunuh diri yang hendak membantai anak-anak tak berdosa yang sedang belajar dengan cara meledakkan sekolahnya. Keberaniannya itu sontak mendapat sorotan publik di seluruh dunia. Senin itu, ia sedang dihukum berdiri di luar pagar sekolahnya karena terlambat datang ke sekolahnya di Hangu, sebuah kota kecil di propinsi Khyber Pakhtunkhwa. Tak dinyana, ia melihat dan langsung menyergap seorang pengebom bunuh diri yang berusaha memasuki gedung sekolahnya, dan bumm...!

Menurut Dr. Ismail Salami dalam artikelnya, "Pakistan, Korban dari Kolonisasi Ideologis", kota dengan populasi warga Muslim Syiah di Hangu memang selama ini telah menjadi ajang kerusuhan dan target kebencian kaum takfiri sebagaimana yang terjadi di pelbagai belahan negeri lainnya. Tindakan Aitizaz yang luar biasa itu tentu saja telah menyelamatkan lebih dari 2000 siswa yang sedang belajar di sekolah saat malapetaka itu terjadi. ”Anakku telah membuat ibunya menangis, namun telah menyelamatkan ratusan ibu-ibu dari menangisi anak-anaknya," ujar ayah Aitizaz, Mujahid Ali, kepada harian Express Tribune.

Sejak lama sekolah-sekolah, masjid-masjid, dan kuil-kuil menjadi target pengeboman sehari-hari kelompok-kelompok takfiri di Pakistan dan di pelbagai belahan dunia. Menurut definisi mereka, siapapun di luar kelompok takfiri, Muslim atau non-Muslim, perempuan dan anak-anak, dicap sebagai kafir dan harus dienyahkan dari muka bumi. Apa yang mereka terima hanyalah keyakinan utuh dalam persepsi dan interpretasi mereka yang menyimpang.

Pada September 2013, sebuah serangan kembar terhadap gereja bersejarah yang dikenal dengan nama "All Saint’s Church" di Peshawar bagian Barat Laut Pakistan merengut 80 nyawa, termasuk perempuan dan anak-anak, serta mencederai ratusan orang. “Pengebom bunuh diri memasuki ruangan gereja dari gerbang utama dan meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang,” ujar sebuah pernyataan yang diposting dalam situs the diocese.

Dalam insiden lain, seseorang diri meledakkan dirinya di tengah kerumunan masjid Pakistan pada Agustus 2013, membunuh 43 jiwa dan melukai lebih dari 100 orang yang sedang beribadah puasa Ramadan. Menurut saksi mata saat kejadian, pengebom mengenakan sekitar 8-10 kilogram bahan peledak dan berjalan kaki. Ia meledakkan rangkaian bom do tubuhnya di tengah ruang shalat utama.

Pada 2012, seorang bersenjata menyandera 20 Muslim Syiah yang sedang menumpang bus dan membunuh mereka semua di kawasan sepi penduduk di utara Pakistan. Bus yang mereka tumpangi memiliki rute Rawalpindi menuju kota Gilgit di utara yang mayoritas penduduknya Muslim Syiah. Menurut pejabat Pakistan, Khalid Omarzai, “Sepuluh dari 12 orang yang mengenakan seragam tentara menyetop bus itu dan memaksa beberapa penumpang untuk turun. Setelah mengecek surat-suratnya, mereka langsung menembak dan akhirnya 20 orang dilaporkan tewas. Ini masih informasi awal dan kemungkinan jumlah korban akan bertambah, Mereka semua Syiah.”

Pada Januari 2014, seorang pengebom bunuh diri membunuh dua Muslim Syiah yang baru pulang berziarah ke Iran. Serangan terjadi pada Rabu di Akhtaraba, pinggiran Quetta di Balochistan dan menarget bus penumpang yang membawa Muslim Syiah. “Sebuah mobil bermuatan bahan peledak yang diparkir di pinggir jalan meledak saat bus itu melintas,membunuh dua orang dan melukai 17 lainnya,” ujar Abdul Razzaq Cheema, kepala polisi Quettakepada kantor berita AFP. Kebencian takfiri dilampiaskan dengan cara berbeda. Umumnya adalah bom bunuh diri. Bentuk lain termasuk pemenggalan kepala, menumpahkan cairan asam di wajah korban, dan memutilasi jenasah mereka.

Takfirisme yang menjadi nama payung bagi Wahhabisme, didanai secara besar-besaran oleh Arab Saudi. Sepanjang tiga dekade, Arab Saudi telah mengucurkan sekitar 100 miliar dolar untuk menyebarluaskan Wahhabisme ke seluruh penjuru dunia. Pakistan merupakan salah satu contoh awal dari hasil kolonisasi ideologis di Asia. Dengan kata lain, gepokan petrodollar dalam jumlah besar digelontorkan Istana Saud untuk menyebarluaskan Wahhabisme dan promosi terorisme berikutnya.

Jadi, pengeboman bunuh diri bukan barang baru di Pakistan dan di sejumlah negara (termasuk Indonesia) yang telah terinfeksi pengaruh kelompok takfiri yang bersikeras membasmi seluruh penghuni dunia yang mereka pandang secara ideologis sebagai murahan. Dengan cara mengalihkan perhatian dari apa yang sebenarnya terjadi, pihak Barat berusaha memaksakan versinya sendiri perihal realitas dan secara praktis mendiktekan bagaimana media harus melaporkan setiap kekerasan yang dihasilkan ideologi bengkok ini. Bahkan, Barat secara substansial mengkapitalisasi perselisihan yang menyapu Timur Tengah akibat ulah kelompok takfiri semacam Taliban, al-Qaeda, al-Nusra, dan sebagainya.

Media barat secara bulat mengatributkan serangan semacam ini kepada kekerasan sektarian dan "keretakan yang terus membesar antara Muslim Syiah dan Sunni" dari hari ke hari. Faktanya bahwa rangkaian insiden terjadi di Pakistan itu dan pelbagai insiden serupa yang terjadi di tempat lain, tidak ada kaitannya dengan sektarianisme dan [karenanya] tidak patut diperlakukan semacam itu.

Jelasnya, apa yang terjadi di Pakistan merupakan produk ideologi Istana Saud dan para pengikutnya yang bebal. Sayang, para politisi Pakistan acapkali tutup mata di hadapan rangkaian kejahatan bertubi-tubi yang dilakukan kelompok takfiri. Mereka hanya menggunakan pengaruh politiknya untuk meraih tujuan jahatnya sendiri seperti menang dalam pemilihan umum. Karena itu, ketimbag mencegah ekstremisme biadab yang ada sekarang ini, mereka lebh memilih duduk manis dan menonton dengan mulut terkunci.

Aitizaz Hasan merupakan personifikasi kepolosan dan kristalisasi dari harapan melambung jauh di tengah horison gelap yang menyelimuti warga Pakistan. Di sebuah negeri yang terkorosi oleh ketidakpedulian telah membabibuta, korupsi politik telah merajalela, dan ekstremisme telah menjalar ke mana-mana, hanya orang-orang seperti Aitizaz Hasan yang dapat muncul sebagai cahaya lentera yang mengantarkan ke jalan yang benar menuju keselamatan. [IT/GR/rj]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar