Oleh: Todung Mulya Lubis
SEJAK kanak-kanak, saya selalu bangga dengan persatuan Indonesia yang
ditandai oleh kemajemukan kita sebagai bangsa.
Saya menghafal penjelasan guru sekolah yang mengatakan bahwa Indonesia
terdiri atas ribuan pulau, suku, etnisitas, agama, dan latar belakang
budaya serta ideologi. Semua itu diikat oleh semangat "satu tanah air,
satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan".
Tak pernah saya merasa asing. Saya adalah bagian dari bangsa besar
bernama Indonesia, yang kalau keluar berpaspor Indonesia, dan kalau
mengibarkan Merah Putih bangga dan berkaca-kaca. Melihat pemain bulu
tangkis memperoleh medali emas, saya juga terharu dan bangga. Hasil
jerih payah bangsa ini berhasil merajut kebersamaan yang mengharukan.
Satu hari saya berjalan bersama advokat Yap Thiam Hien di tengah kota
Banda Aceh, yang dulu bernama Kutaraja. Yap menunjukkan gereja tempat
keluarganya beribadah. Di Ambon saya bertemu keluarga yang sebagian
beragama Islam dan sebagian lagi beragama Kristen. Mereka makan dan
bernyanyi bersama. Di Semarang saya bertemu keluarga sederhana yang
berbeda suku dan agama, China, Jawa, Kristen, dan Islam. Di Jakarta
saya ketemu orang Batak hidup rukun dan bahagia dengan orang Banjar.
Semuanya tak mempersoalkan perbedaan. Semuanya melihat diri mereka
sebagai manusia yang punya otonomi personal, punya kebebasan, dan
melaksanakan kebebasan mereka dengan tanggung jawab dalam sebuah
keluarga, komunitas, dan bangsa.
Saya tak mengatakan tak ada konflik, pertentangan, atau ketegangan. Di
sana-sini ada konflik dan ketegangan. Sesekali ada tawuran
antarkampung karena anak gadis di kampung yang satu digoda oleh pemuda
kampung sebelah. Atau karena kalah pertandingan sepak bola. Ada juga
ketegangan karena khotbah yang emosional. Atau ada keluarga yang
mengadakan pesta dengan musik terlalu keras.
Semua itu adalah ketegangan yang sehat dan masih bisa dikelola. Saya
sama sekali tak terganggu. Malah saya menganggap semua konflik dan
ketegangan itu merupakan bagian dari nation and character building
yang dewasa. Kita sedang melangkah menjadi bangsa yang besar.
Kemajemukan digugat
Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini--sejalan menguatnya demokrasi
dan hak asasi manusia--ruang kebebasan semakin terbuka. Media sosial
juga memberi tempat bagi kebebasan menyatakan pendapat. Berbagai
aliran pendapat menyeruak ke permukaan. Sebagian malah secara
diametral bertentangan dengan semangat demokrasi dan hak asasi
manusia, bertentangan dengan kemajemukan kita sebagai bangsa,
bertentangan dengan keutuhan kita sebagai sebuah bangsa.
Kemajemukan digugat, kesatuan bangsa digugat, dan keutuhan teritorial
ikut terganggu. Importasi pikiran dari luar masuk tanpa filter, dan
seluruh perjuangan pendiri negara ini seperti dipersalahkan. Demokrasi
ditafsirkan sebagai mayoritas absolut; minoritas harus tunduk kepada
mayoritas. Perlindungan terhadap minoritas itu tak dihormati. Tafsir
terhadap agama juga makin dipaksakan dengan kekerasan di mana
perbedaan tafsir sama sekali diharamkan. Kebebasan beragama yang
dianut oleh UUD 1945 tak dihormati. Suara untuk menghidupkan Piagam
Jakarta terdengar meski tak gemuruh, tetapi suara itu muncul dalam
berbagai sikap intoleransi terhadap kelompok minoritas dan kelompok
seagama yang tak setafsir.
Dalam bahasa hukum, telah muncul kembali permusuhan dan kebencian
(sosial) di muka umum melalui tulisan atau orasi yang sering sekali
sangat kasar. Media sosial kita penuh kebencian dan permusuhan.
Demonstrasi dan poster di berbagai pojok jalan sering menghasut dan
mengafirkan kelompok lain. Gerakan sektarian memanifestasikan dirinya
dalam berbagai bentuk yang disertai tindak kekerasan. Telah muncul apa
yang disebut sebagai hate speech yang dulu diatur dalam Pasal 156,
156a, dan 157 KUHP yang kita kenal sebagai pasal-pasal penyebar
kebencian (hatzaai artikelen). Tetapi, pasal-pasal yang dulu
digunakan pemerintah kolonial untuk mematikan perlawanan pribumi
terhadap kolonialisme, juga oleh pemerintahan Orde Baru untuk menindas
perlawanan kelompok-kelompok kritis seperti mahasiswa dan buruh,
sekarang sudah dianggap tak bisa diperlakukan lagi: dinyatakan
bertentangan dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan UUD 1945.
Sekarang pernyataan kebencian dan permusuhan hanya bisa dikejar atas
dasar pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah (Pasal
310, 311 KUHP), dan Pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
No 11/2008). Hanya saja, pasal-pasal tersebut di atas sangat terbatas
daya jangkaunya, dan dalam banyak hal tak mampu menjangkau pernyataan
kebencian dan permusuhan. Sekarang, mungkin ada yang berpikir ulang
untuk menghidupkan kembali pasal-pasal yang mengatur mengenai hate
speech tersebut, yang dulu ditolak karena penyalahgunaan tafsir oleh
penguasa pada waktu itu. Kita semua tak mau pasal-pasal hate speech
dipakai sebagai instrumen mematikan perbedaan pendapat, kritik, atau
oposisi. Tetapi, pada sisi lain kita harus akui: pernyataan kebencian
dan permusuhan di muka umum dengan niat jahat, sistematis, dan
disertai kekerasan haruslah juga bisa dihukum. Tak boleh ada
impunitas.
Fenomena hate speech bisa muncul dalam berbagai bentuk: tulisan,
orasi, poster, demonstrasi, dan khotbah. Bisa juga dalam berbagai
pengumuman yang menolak kemajemukan seperti yang tecermin dalam
tulisan Achmad Munjid, "Pengajaran Agama Interreligius" (Kompas, 4
Januari 2014).
Fenomena ini digambarkan sebagai kelumpuhan nalar kita dalam merawat
kemajemukan (pluralisme). Dari sejumlah kasus yang terjadi dalam
beberapa tahun terakhir, kita akan melihat secara telanjang bahwa
kebencian dan permusuhan itu telah semakin deras dan keras.
Pilar-pilar pluralisme yang dibangun oleh pendiri negara ini semakin
rapuh dimakan rayap-rayap intoleransi, kebencian, dan permusuhan.
Negara lakukan pembiaran
Sungguh saya khawatir menatap masa depan. Merebaknya hate speech,
absennya akuntabilitas, dan diamnya negara, kalau keadaan ini tak
dilawan, maka jangan heran jika hate speech ini akan bermetamorfosis
menjadi ideologi kebencian (ideology of hatred). Jika ideologi
kebencian ini melembaga, nasib kemajemukan, nasib dari nation yang
bernama Indonesia akan berada di ujung tanduk.
Dalam bahasa Niza Yanay dalam bukunya, The Ideology of Hatred,
ideologi kebencian ini bisa ditafsirkan sebagai signifier of danger
dalam konteks relasi kekuasaan. Kebencian tak lagi semata-mata
anti-Islam, anti-Kristen, anti-China, atau anti-Jawa. Ideologi
kebencian ini akan jadi instrumen kekuasaan, langsung dan tak
langsung, baik oleh negara maupun non-negara dalam pembenaran terhadap
intoleransi, sektarianisme, dan diskriminasi.
Dalam konteks kekinian Indonesia, ideologi kebencian ini diperankan
oleh kelompok atau organisasi yang tak memberi ruang bagi pluralisme
dalam arti luas. Negara jadi pihak yang bertanggung jawab karena
melakukan pembiaran. Sekarang Indonesia belum cerai-berai, tapi
sekat-sekat pemisah mulai ditegakkan. Kita hidup dalam sebuah negara,
tapi kita hidup terpisah-pisah, kita sama tetapi tidak sama, separate
but equal. Di dinding rumah kita tulisan Bhinneka Tunggal Ika seperti
bergetar, menunggu jatuh ke lantai.
Indonesia belum bubar. Tetapi, jangan meremehkan menyebarnya ideologi
kebencian yang akan menghilangkan Indonesia dari peta dunia.
Todung Mulya Lubis, Ketua Yayasan Yap Thiam Hien
KOMPAS, Kamis, 30 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar